Seni menghubungkan informasi menjadi gagasan baru. Gagasan spektakuler adalah buah dari berpikir kreatif. Bagi yang menggunakan referensi taksonomi Bloom, berpikir kreatif ini ada di level yang lebih tinggi dari berpikir kritis. Dimensi proses kognitif secara berurut dimulai dari remembering (mengingat), understanding (memahami), applying (mengaplikasikan), analyzing (menganalisis), evaluating (mengevaluasi), hingga creating (membuat/ menciptakan). Berpikir kritis ada di level menganalisis dan mengevaluasi, sementara berpikir kreatif ada di level membuat dan menciptakan. Lalu apakah artinya untuk dapat berpikir kreatif, seseorang harus mampu berpikir kritis terlebih dahulu? Mungkinkah berpikir kritis dan berpikir kreatif dapat dilakukan secara simultan?
Meeting : Be Creative !
Seni menghubungkan informasi menjadi gagasan baru. Gagasan spektakuler adalah buah dari berpikir kreatif. Bagi yang menggunakan referensi taksonomi Bloom, berpikir kreatif ini ada di level yang lebih tinggi dari berpikir kritis. Dimensi proses kognitif secara berurut dimulai dari remembering (mengingat), understanding (memahami), applying (mengaplikasikan), analyzing (menganalisis), evaluating (mengevaluasi), hingga creating (membuat/ menciptakan). Berpikir kritis ada di level menganalisis dan mengevaluasi, sementara berpikir kreatif ada di level membuat dan menciptakan. Lalu apakah artinya untuk dapat berpikir kreatif, seseorang harus mampu berpikir kritis terlebih dahulu? Mungkinkah berpikir kritis dan berpikir kreatif dapat dilakukan secara simultan?
Meeting : Mr.Sumarlin - The Pursuit of Happyness
The Pursuit of Happyness adalah salah satu film biografi terbaik pada masanya. Film yang dirilis tahun 2006 mengangkat kisah lika liku hidup pengusaha sekaligus filantropis bernama Chris Gardner. Dibintangi oleh Will Smith (Chris Gardner), Jaden Smith (Chris Gardner Jr.) dan Thandie Newton (Linda Gardner), film ini bisa bikin banjir air mata akibat dramatisasi perjuangan hidup sang pialang saham.
Inilah enam pesan berharga yang bisa kamu dapat dari film The Pursuit of Happyness. Semoga menginspirasimu, ya!
1. Jangan menyerah memperjuangkan cita-cita
Bila kamu tengah mencari sosok yang punya determinasi tinggi, cobalah mengamati karakter Chris Gardner.
Sosok pria berkulit hitam ini menghabiskan seluruh uang tabungannya untuk berinvestasi mesin pemindai kepadatan tulang. Sejumlah dokter maupun rumah sakit menilai harga yang ditawarkan Chris terlalu mahal. Alhasil, ia harus berusaha ekstra menjual mesinnya itu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Bila ia tak berhasil menjual setidaknya dua unit mesin dalam sebulan, biaya hidupnya tidak akan tertutupi.
2. Cerdas mengamati lingkungan sekitar
Saat Chris berjalan melewati depan kantor pialang saham Dean Witter, ia iseng bertanya kepada salah satu broker. "Bagaimana caranya kamu bisa memiliki mobil sebagus itu?," tanya Chris. Lantas broker tersebut menjawab bila dirinya bekerja sebagai broker saham. Dari situlah, Chris mengirimkan surat lamarannya kepada pihak Dean Witter.
Ia terus mencoba mendekati pimpinan, mengikuti proses pelatihan, dan diterima sebagai pegawai baru di Dean Witter.
3. Setia terhadap pasangan
Saat Chris berada di titik terbawah dalam hidupnya, sang istri bernama Linda memilih meninggalkan suami dan anaknya untuk mencari kehidupan baru.
Sikap Linda adalah contoh yang sebaiknya tak patut dicontoh. Ia tak menunjukkan dukungan terhadap suaminya yang berusaha mencari jalan keluar dari kesulitan ekonomi.
Do more with less
“do more with less” bisa berarti penggunaan teknologi terbaru yang memungkinkan proses bisnis dan orang bekerja menjadi lebih efisien, efektif, dan produktif.
“Do more with less” untuk proses terbilang banyak ragamnya. Sebut saja misalnya Total Quality Management, Continous Improvement, Kaizen, Business Process Management, Business Process Engineering, Business Process Improvement. Apapun istilah yang digunakan, inti perbaikan proses adalah menghilangkan berbagai waste. Intisari dari perbaikan proses bisnis adalah memastikan bahwa berbagai proses dan aktivitas penciptaan nilai berjalan sebagaimana mestinya.
Tulisan ini fokus pada pembahasan tentang “do more with less” dari aspek sumber daya manusia. Apapun pendekatannya (people, process, dan technology), substansi dan tujuan dari “do more with less” adalah memastikan penciptaan nilai yang efektif, efisien, dan produktif. Jika pada akhirnya terjadi pengurangan karyawan, itu bukan tujuan, melainkan konsekuensi.
***
Menjelaskan mantra “do more with less” kepada para pesepakbola jauh lebih mudah daripada menjelaskannya kepada karyawan perusahaan. Sebab, jumlah pemain dalam satu kesebelasan sudah pasti 11, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi. Kalau dikurangi, maka namanya menjadi futsal, atau kalau 2 lawan 2 menjadi “sepakbola pantai”.
Bagi pesepakbola, mantra “do more with less” dipahami sangat sederhana, yaitu “do more productive”. More productive bisa dicapai melalui peningkatan kompetensi dan kapabilitas pesepakbola, perbaikan strategi dan proses permainan sepakbola.
Sejatinya, itulah makna sesungguhnya dari “do more with less”. Tujuan dari “do more with less” bukan untuk pengurangan karyawan (meskipun konsekuensi akhir juga bisa berupa pengurangan karyawan). Melakui training and development, job enrichment, job enlargement, employee engagement, maka peningkatan produktivitas karyawan dan perusahaan akan sangat mungkin dicapai. Tetapi apa boleh buat, kecurigaan dan prasangka lebih kuat daripada fakta.
Perbedaan utama antara job enlargement dan job enrichment diwakili oleh kata kuantitas dan kualitas. Job enlargement merujuk pada kuantitas, dan job enrichment “berjodoh” dengan kualitas. Dalam job enlargement, jumlah tugas yang diperbanyak. Sedangkan dalam job enrichment, tanggung jawab yang ditingkatkan.
Job Enlargement
“Job enlargement means to add more duties, and an increased workload. By job enlargement refers to having additional duties and responsibilities in a current job description.” (www.management-hub.com)
Di sepakbola, job enlargement bisa ditemukan pada posisi back dan gelandang. Pada mulanya, job description asli dari back adalah terbatas mengamankan wilayah pertahanan. Back juga menjadi orang pertama yang bertanggung jawab mengadakan serangan balik. Sementara gelandang bertugas ganda, yaitu membantu serangan dan membantu pertahanan.
Olahraga sepakbola moderen menuntut back untuk membantu serangan, terutama dari sisi sayap. Itulah sebabnya kemudian dikenal istilah “back sayap” (wing back). Di era sepakbola moderen, seorang back yang hanya memiliki kompetensi dan kapabilitas bertahan saja (disebut sebagai back murni), kalah bersaing dengan wing back (back yang memiliki kompetensi bertahan dan membantu penyerangan sama baiknya).
Demikian juga dengan pemain gelandang. Meskipun masih ada spesialisasi gelandang bertahan dan gelandang menyerang, seorang gelandang yang memiliki kompetensi bertahan dan menyerang sama baiknya, lebih eksis dan menjadi tumpuan harapan pelatih. Singkat kata, pesepakbola yang memiliki kompetensi dan kapabilitas lengkap dan bisa ditempatkan di posisi mana saja, akan menjadi pilihan utama bagi pelatih.
Image courtesy of http://www.zonalmarking.net
Job Enrichment
“In job enrichment, the attempt is to build in to jobs a higher sense of challenge and achievement. The accumulation of achievement must lead to a felling of personal growth accompanied by a sense of responsibility”. (www.management-hub.com). Definisi lain mengatakan bahwa “the difference between jobenrichment and jobenlargement is quality and quantity. Job enrichment means improvement, or an increase with the help of upgrading and development. By job enrichment, an employee finds satisfaction in respect to their position and personal growth potential. (http://www.differencebetween.net/)
Saya “menterjemahkan” pemahaman tentang job enrichment di sepakbola adalah strategi total football yang diperagakan oleh timnas Belanda. Dalam strategi total football, semua pemain terlibat aktif dalam proses menyerang dan bertahan. Konsekuensinya, kompetensi dan kapabilitas pesepakbola dituntut lebih istimewa. Dalam total football, persyaratan untuk masuk menjadi anggota tim yang “dipersulit” (baca : ditingkatkan). Sebab, dalam total football, tanggung jawab seorang pesepakbola dinaikkan ke tingkat yang tidak dicapai oleh sembarang orang.
Engagement
Corporate Leadership Council (2004) mendifinisikan employee engagement sebagai “the extent which employees commit to something or someone in their organization, how hard they work and how long they stay as a result of that commitment.”
Employee engagement dapat terjadi di tingkat cognitive, emotional, dan perilaku (behavioral). Konrad (2006) menjelaskan sebagai berikut : “Cognitive engagement refers to employee’s beliefs about the company, its leaders and the workplace culture. The emotional aspect is how employees feel about the company, the leaders and their colleagues. The behavioral factor is the value-added component reflected in the amount of efforts employees put into their work (e.g., brainpower, extra time and energy).”
Engagement sering dihubungkan dengan employee satisfaction, employee turnover, dan employee performance. Secara umum, ada korelasi positif dan pengaruh employee engagement dengan employee satisfaction, employee turnover, dan employee performance. (Catatan Redaksi : mengenai hubungan dan pengaruh berbagai variabel tersebut, akan dijelaskan secara terpisah dalam tulisan tentang “Employee Engagement”).
Secara umum dapat dihipotesakan, bahwa semakin tinggi tingkat employee engagement, maka semakin tinggi employee satisfaction, semakin rendah tingkat employee turnover, dan semakin tinggi tingkat employee performance. Meningkatnya kinerja karyawan akan berdampak terhadap kinerja perusahaan.
***
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pendekatan job englargement, job enrichment dan employee engagement ditujukan untuk meningkatkan employee satisfaction sehingga berdampak pada produtivitas kerja setiap karyawan. Dalam konteks ini, less tidak bermakna jumlah karyawan yang lebih sedikit. Jumlah karyawan relatif sama, tetapi produktivitas kerja meningkat.
At the end of the day, jika kemudian terjadi pengurangan karyawan, itulah “harga” (baca : risiko) dari sebuah perubahan. No risk no gain. Peningkatan gain akan selalu “dikuntit” oleh risiko. Last but not least, risiko adalah keadaan yang belum tentu terjadi. Karena itu, dalam proses perbaikan apapun – termasuk dalam program-program do more with less – penting bagi manajemen perusahaan memiliki peta risiko dan mitigasi risiko yang berhubungan dengan SDM perusahaan.
The GRIT Man : Playmaker yang low profile
Grit: Gabungan Kekuatan Passion dan Ketekunan
Ada yang Lebih Penting dari IQ, yakni Ketabahan Hati (Grit)
Grit sendiri sebenarnya sebuah istilah berbahasa Inggris yang memiliki makna sejajar dengan daya juang. Dalam psikologi, Grit atau daya juang ini secara positif merupakan keinginan seseorang secara individu yang digerakan oleh sebuah keinginan untuk mencapai sebuah pencapaian yang diinginkan.
Dalam dunia yang serba mendewakan kesuksesan ini, seringkali kita terpancing untuk berpikir IQ merupakan tolok ukur yang paling baik untuk kecerdasan kita. IQ juga menjadi salah satu faktor yang membuat kita kelihatan tidak nyaman dan terus-menerus menyalahkan keadaan sekitar, termasuk keberhasilan dalam mengelola dan merencanakan keuangan.
Padahal, ada hal yang lebih penting dari IQ, yakni ketabahan hati atau yang disebut juga dengan grit. Berikut ini adalah ulasan mengapa grit atau ketabahan hati lebih penting dibandingkan dengan sekadar IQ dalam rangka pengelolaan keuangan yang matang:
1. Ketabahan Hati Mendorong Kita untuk Terus Maju
Mungkin IQ atau kecerdasan intelektual merupakan hal-hal yang membuat orang terlihat seperti “Semar” di luarnya. Namun jangan lupa, karena tidak ada kecerdasan yang dibentuk tanpa usaha, termasuk IQ.
Ketabahan hati lebih dari sekadar usaha. Manusia boleh berusaha sekuat tenaga, namun pada akhirnya, mereka yang memiliki ketabahan hati-lah yang menang. Ketabahan hati adalah saat di mana kita terus berjuang dan berjuang, bahkan setelah kita mengalami penolakan atau kegagalan berkali-kali, termasuk dalam bidang keuangan.
Semangat berjuang yang dimiliki orang-orang yang memiliki ketabahan hati ini membuat mereka terus terdorong untuk maju. Hasilnya, hampir semua orang yang memiliki semangat berjuang tinggi dan hati yang tabah berhasil dalam banyak macam lomba tingkat nasional maupun internasional, seperti LKTI, lomba debat, olimpiade matematika, dan semacamnya.
Tidak berhenti sampai di sana, mereka yang memiliki ketabahan hati akan lebih dapat memotivasi diri mereka dalam hal mengelola keuangan dibandingkan mereka yang hanya berpatokan pada kecerdasan saja. Ini dikarenakan mereka terus termotivasi mencari cara untuk mengelola keuangan mereka dengan lebih baik tiap harinya dibandingkan mereka yang terbuai dengan IQ semata.
2. Memicu Kita untuk Menjadi Individu yang Rajin
Sekarang, coba lihat orang-orang yang selalu memandang iri orang lain yang kelihatan lebih punya IQ tinggi, lebih berhasil, lebih sukses, dan sebagainya. Lihatlah kesamaan mereka: Apa yang Anda dapatkan? Ya, orang-orang yang terbuai dalam iri hati dan dengki mereka ini cenderung menjadi orang-orang yang malas berusaha.
Jangan percaya soal adanya rasa iri yang dapat memotivasi kita untuk terus bangkit dan mengalahkan musuh, karena sesungguhnya itu semua tidak pernah ada. Yang ada, orang-orang yang suka iri hati dengan hal-hal yang tidak ia miliki (termasuk IQ) ini merupakan calon orang-orang “gagal” dalam kehidupan mereka karena berpikir tidak pernah bisa berkompetisi dengan orang yang “tidak selevel” dengannya.
Lain halnya dengan mereka yang memiliki ketabahan hati, di mana ketabahan hati membuat mereka dapat terus mengasah potensi mereka dan tekun mengejar apa yang menjadi passion mereka. Pada akhirnya, mereka akan sama (atau mungkin, lebih) cerdasnya dengan mereka yang menggunakan IQ sebagai “senjata utama”, karena waktu yang mereka investasikan untuk kegiatan yang merangsang minat dan tujuan sukses mereka tidak akan terbuang dengan sia-sia.
Imbasnya, mereka menjadi orang-orang yang berpenghasilan lebih tinggi dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan faktor superfisial seperti IQ. Penghasilan lebih tinggi untuk selanjutnya memungkinkan mereka mengalokasikannya ke berbagai hal yang mereka senangi dalam hidup, sehingga menjadikan ketabahan hati atau grit lebih penting dibandingkan IQ.
3. Dapat Menolong Kita Menemukan Jati Diri Kita Sesungguhnya
Berbeda dengan IQ yang subjektif terhadap pandangan seseorang, grit merupakan sesuatu dalam diri yang tidak bisa diukur hanya dengan teknologi ilmiah terkini. Alasannya, grit atau ketabahan hati adalah sesuatu yang ditemukan dalam diri tiap kita, dan itu merupakan “jiwa” dari pekerjaan yang hanya kita dapat mengaksesnya.
Dengan mementingkan ketabahan hati atau grit di atas IQ, kita akan tertolong dalam menemukan tujuan jiwa kita yang paling dalam. Imbasnya, kita akan lebih mengenal diri kita sendiri dan tidak sibuk mengurusi urusan orang lain seperti halnya mereka yang iri dengan IQ kita dan sebaliknya.
Karena kita lebih dapat mengerti diri sendiri, maka kita pun akan mengetahui apa saja yang baik maupun tidak baik bagi diri kita. Kita pun dapat lebih leluasa memilih berinteraksi atau membangun hubungan dengan siapapun yang kita pikir dapat membentuk kita menjadi pribadi yang lebih baik.
Dalam hal keuangan, hal tersebut akan menolong kita untuk menemukan networking dan cara-cara perencanaan keuangan yang benar untuk diri kita. Mungkin kita tidak memiliki IQ atau kecerdasan yang lebih tinggi dari orang lain, tapi paling tidak, dengan grit atau ketabahan hati yang kita miliki, kita akan dapat meraih kesuksesan finansial dengan pertama-tama memilih produk keuangan yang sesuai dengan diri kita.
Singkatnya, grit atau ketabahan hati lebih penting dibandingkan IQ, mengingat ketabahan hati yang merupakan komposisi dari usaha keras dan mendalami passion dapat memotivasi kita untuk lebih maju, memicu kita menjadi individu yang rajin, dan dapat menolong kita menemukan jati diri kita sebenarnya. Pada akhirnya, ketabahan hati-lah yang akan menuntun kita pada kemerdekaan finansial yang kita inginkan, bukan IQ.
Meeting : Penguin Trading
saya tertarik dengan ide di balik layar. Saya terkesan dengan seorang deep playmaker yang mungkin dalam catatan statistik assist maupun gol cenderung rendah tapi tetap diakui sebagai jantung permainan. Saya terkesan dengan permainan seorang deep playmaker yang low profile dan tanpa tanda jasa tersebut. Namun, kemudian terbesit apabila deep playmaker tersebut ada dalam dunia usaha atau kriminal dan melakukan passing-passing dalam bentuk gentleman agreement, bagaimana kemudian pembuktian sisi formalnya?
Saat muncul opini adanya permainan mafia maupun kartel dalam jagat pasar dan pemasaran, maka opini-opini tersebut akan tetap menjadi opini manakala tidak ada bukti langsung yang kuat. Pernyataan saya ini tercetus setelah menilik dari suatu ingatan akan bacaan yang berbunyi,”Kebohongan akan menjadi fakta apabila didengungkan beribu kali” namun tidak ada bacaan yang berbunyi,”Opini akan menjadi fakta apabila didengungkan beribu kali.” Permasalahannya adalah, untuk suatu fakta empiris atas ketidakpuasan beberapa pihak atas pihak lain dalam bentuk “tuduhan kejahatan”, dibutuhkan bukti yang cukup kuat yang sifatnya—kadang—“form over substance”.
Kembali ke gentleman agreement, saat suatu “kesepakatan” dibuat berdasarkan perjanjian verbal, maka bukti yang cukup kuat “hanya” mencakup dua kemungkinan: rekaman atau sadapan, baik dalam bentuk audio maupun audio dan video. Permasalahan yang timbul kemudian adalah, apabila memang “kesepakatan” ini berdampak besar dan memang diniatkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau menggeser kerugian pada pihak kedua atau ketiga, maka orang mana yang akan dengan sengaja meninggalkan jejak? Bahkan seorang pencuri ayam yang mencuri semata-mata karena tidak keadaan yang amat sangat terpaksa pun akan berusaha untuk tidak meninggalkan jejak.
Bukan perkara mudah untuk mendapatkan penyebab yang sesungguhnya atas suatu fakta atau kondisi yang terjadi dalam pasar yang terbentuk akibat adanya gentleman agreement. Teori ekonomi secara implisit menjelaskan bahwa intervensi dalam pasar terjadi karena adanya kepentingan. Misalnya, pemerintah melakukan intervensi dalam bentuk subsidi karena harga di pasaran terlalu tinggi. Namun, di sisi yang sama juga, intervensi ini menjelaskan juga adanya keuntungan yang didapat pengusaha dengan adanya intervensi. Pertanyaan yang timbul minimal ada dua. Pertama, ide dasar intervensi ini atas dasar apa dan berasal dari usul siapa? Pemerintah? Pengusaha? Atau masyarakat sebagai konsumen? Kemudian, atas intervensi ini, siapa yang lebih diuntungkan? Pemerintah? Pengusaha? Atau konsumen? Pertanyaan ini layak ditanyakan since we can’t please everyone.
Dari sisi teori ekonomi, biasanya, pengusul adalah pihak yang diuntungkan. Namun, dari sisi yang sama, juga diajarkan bahwa pengusul tidak selamanya akan diuntungkan karena—minimal—ada dua pihak lain yang juga berkepentingan (hubungan antara produsen-konsumen-pemerintah). Seharusnya, pihak yang akan mendapatkan keuntungan terbesar adalah pihak yang mempunyai daya lobi dan kekuatan pasar terbesar. Secara teori, pemerintah lah yang seharusnya mendapatkan keuntungan terbesar ini sehingga dapat didistribusikan kembali ke masyarakat. Secara substansi? Saya menolak untuk berkomentar J
Menarik bagi saya adalah adanya komentar yang beredar bahwa “pemerintah akhirnya menjadi cecunguk saja atas kesepakatan para mafia”. Dalam bahasa lain, saya ingin menyebutkan bahwa jangan sampai Pemerintah hanya berfungsi sebagai notulis saja atas kesepakatan beberapa pihak tersebut. Kenapa demikian? Karena legalitas tindakan masyarakat, baik konsumen dan produsen, bersumber dari setiap aturan dan keputusan yang dikeluarkan secara resmi dan legal oleh Pemerintah. Apabila kemudian ternyata memang benar bahwa pemerintah berfungsi sebagai notulis, maka pertanyaan yang timbul akan berganti menjadi,”Seberapa besar masyarakat menanggung kerugian? Dan bagaimana masyarakat akan menutup kerugian yang mereka pikul?”
Artinya adalah, saat pencarian bukti dilakukan dan “mentok” karena “aturannya memang begitu” dan “sudah sesuai aturan” maka tidak akan ada “fakta” atau “kondisi”, yang ada hanyalah “opini” dan/atau “tuduhan”. Hal ini justru menjadi boomerang bagi pencari bukti, karena berpotensi melakukan tindakan pencemaran nama baik. Akibatnya ya, dengan peluang berhasil kecil dan resiko besar, ya lebih baik main aman aja kan ya?!
Formalitas pada dasarnya adalah bentuk ketidakpercayaan. Formalitas dibuat sebagai bukti dan jaminan. Bukti agar orang lain percaya dan jaminan kalau orang yang mempunyai bukti tidak berbohong. Padahal, substansi otak atau hati seseorang tidak ada yang tahu. Ibarat orang memakai perban, orang beranggapan bahwa dia terluka karena orang yang memakai perban “biasanya” adalah orang yang terluka. Apakah sebenarnya dia terluka atau tidak, hanya orang itu dan Tuhan yang tahu.
Dengan demikian, benar bila kepercayaan itu mahal harganya. Namun, walaupun si pembawa timbangan ditutup matanya, apakah si penimbang mau percaya?
Meeting : CSA ( Volk-Renovo-HCG)
Berapa banyak produk yang Anda beli dalam 1 bulan ? Oh baik, jangan dalam hitungan bulanan, coba dalam mingguan.
Pasti ada saja produk yang masuk dalam keranjang belanjaan Anda bukan?
Seperti layaknya manusia, produk-produk ini juga memiliki siklus hidup. Produk yang lama akan semakin tergusur dengan permintaan konsumen yang menginginkan hal yang baru.
Semakin modern barang, semakin meningkatkan penjualan pada saat launching.
Oleh karena itu, setiap perusahaan perlu mengetahui tahapan siklus hidup produk yang berbeda-beda dan memahami bahwa semua produk yang mereka jual memiliki batasan umur.
Mayoritas dari mereka (perusahaan) akan berinvestasi dalam pengembangan produk baru dalam rangka memastikan bahwa bisnis mereka terus tumbuh.
Artikel kali ini akan mengajak Anda untuk lebih mengenal lebih dekat siklus hidup produk sampai manajemennya.
Mari kita mulai pembahasannya…
Product Life Cycle Stages
Siklus hidup produk secara jelas terbagi menjadi 4 tahap, setiap tahapannya memiliki karakteristik yang berbeda-beda untuk bisnis yang mencoba mengelola siklus hidup produk tertentu mereka.
Tahap Pengenalan
Memperkenalkan sebuah produk baru merupakan tahap pertama yang paling menguras biaya ketika sebuah perusahaan melakukan launching.
Market untuk produk baru ini masih kecil dan hal ini berarti penjualan masih rendah, meskipun lama-kelamaan akan terjadi peningkatan.
Di sisi lain, biaya untuk hal seperti penelitian dan pengembangan, pengujian produk kepada konsumen, dan pemasaran yang diperlukan untuk melaunching produk bisa sangat tinggi. Terutama jika Anda berada dalam sektor persaingan yang berat.
Tahap Pertumbuhan
Tahap pertumbuhan biasanya ditandai dengan pertumbuhan yang kuat dalam penjualan dan memperoleh profit, dan karena perusahaan mulai bisa mendapatkan keuntungan dari skala ekonomi dalam produksi, profit margin, serta jumlah keseluruhan laba akan mengalami peningkatan.
Hal ini memungkinkan perusahaan untuk menginvestasikan uang lebih banyak dalam kegiatan promosi untuk memaksimalkan potensi di tahap pertumbuhan ini.
Tahap Kedewasaan
Dalam tahap ini, produsen mendapat tantangan untuk mempertahankan pangsa pasar yang telah mereka bangun dengan segala cara.
Ini merupakan waktu yang paling penuh dengan persaingan untuk sebagian besar produk dan para pebisnis perlu berinvestasi dengan bijak dalam melakukan kegiatan pemasaran.
Mereka juga perlu mempertimbangkan untuk memodifikasi produk atau melakukan perbaikan pada proses produksi.
Tahap Penurunan
Disebut sebagai tahap penurunan ketika akhirnya pasar untuk produk mulai menyusut. Penyusutan ini bisa disebabkan karena pasar yang jenuh (semua customer yang sudah membeli produk tersebut), atau karena konsumen beralih ke jenis produk yang lain.
Walaupun proses penurunan tidak dapat dihindari, masih ada kemungkinan bagi perusahaan untuk memperoleh profit dengan beralih ke metode produksi yang lebih murah dan market yang lebih murah.
Meeting : Pralon
Berinvestasilah untuk akhirat kelak dengan memiliki sahabat yang shalih!
Pentingnya Investasi Persahabatan
bukan semata-mata secara materil. Teman adalah investasi dunia akhirat. Pernah denger nggak sebuah riwayat yang menceritakan bahwa di padang mahsyar nanti kita akan dikumpulkan bersama orang-orang yang sering menghabiskan waktu bersama selama di dunia. Nah, berarti pepatah “friendship are last forever and ever” memanglah benar adanya.
Sahabat, sudah tahukah bahwa salah satu investasi akhirat yang perlu kita upayakan selama hidup di dunia ini adalah memiliki teman yang shalih? Rasulullah sendiri telah memberi perumpamaan yang sangat baik mengenai teman yang baik dan buruk.
“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.”
(HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)
Mengapa Sahabat yang Shalih?
Mengapa teman atau sahabat yang shalih dikatakan sebagai investasi akhirat? Salah satunya adalah karena mereka dapat menjadi pemberi syafa’at bagi sahabat-sahabatnya semasa hidup di dunia dulu.
“Demi Allah, Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kalian begitu gigih dalam memohon kepada Allah untuk memperjuangkan hak untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka pada hari kiamat. Mereka memohon: Wahai Tuhan kami, mereka itu (yang tinggal di neraka) pernah berpuasa bersama kami, shalat, dan juga haji,”
Dijawab: ”Keluarkan (dari neraka) orang-orang yang kalian kenal.” Hingga wajah mereka diharamkan untuk dibakar oleh api neraka.
Para mukminin inipun mengeluarkan banyak saudaranya yang telah dibakar di neraka, ada yang dibakar sampai betisnya dan ada yang sampai lututnya.
Kemudian orang mukmin itu lapor kepada Allah, ”Ya Tuhan kami, orang yang Engkau perintahkan untuk dientaskan dari neraka, sudah tidak tersisa.”
Allah berfirman, ”Kembali lagi, keluarkanlah yang masih memiliki iman seberat dinar.”
Maka dikeluarkanlah orang mukmin banyak sekali yang disiksa di neraka. Kemudian mereka melapor, “Wahai Tuhan kami, kami tidak meninggalkan seorangpun orang yang Engkau perintahkan untuk dientas…” (HR. Muslim).
Sebaliknya, teman yang zhalim takkan memberi kebaikan bagi kita baik di dunia maupun di akhirat, maka mereka pun takkan menemukan seseorang yang memberi pertolongan atau syafa’at bagi mereka di akhirat kelak.
“Orang-orang yang zhalim tidak memiliki teman setia seorangpun dan tidak pula mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya”. (QS. Ghafir : 18).
Mari kita introspeksi diri, sudah berapa banyak Sahabat Shalih yang kita miliki? Apakah kita telah tergabung di komunitas orang-orang baik? Lihat ke sekeliling kita, dari sekian banyak teman dan sahabat, apakah lebih banyak orang-orang shalih atau orang-orang zhalim yang berakhlak buruk?