Stoikisme didirikan oleh Zeno (334-262 SM) dari Citium pada abad 300 SM (Simon B, 2013: 835) dan Cleanthes (331-232 SM). Simon dalam bukunya menjelaskan bahwa kedua tokoh ini adalah generasi yang menonjol saat itu sehingga dihormati oleh raja pada masa itu. Stoikisme mulai berkembang pada 294 SM di Athena dan meninggalnya kaisar Romawi, Marcus Aurelia yang juga sebagai pelopor paham Stoikisme (A. Setyo W, 2018: 2-3)
Haidar Bagir dalam bukunya Buku Saku Filsafat mengatakan bahwa stoicisme bukanlah agama dan juga bukan termasuk filsafat spekulatif dan tematik, melainkan sebuah pandangan hidup mendalam mengenai emosi manusia terhadap kebahagiaan hidup.
Ajaran Filsafat Stoikisme
Ajaran stocisme sangat erat dengan emosi manusia, dimana dalam paham ini emosi negatif merupakan sumber ketidakbahagiaan. Berikut beberapa ajaran stoikisme yang dapat menjadikan hidup tenang dan bahagia:
Pertama, hal buruk akan terjadi selama kita ada dan terjadi kepada kita.
Hal ini senada dengan firman Allah yang diabadikan dalam Al-Qur’an bahwa dunia adalah tempat ujian dan tidaklah disebuat sebagai orang beriman sebelum ditimpa hal buruk yang menguji iman dan kesabarannya. Allah Swt. berfiman:
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. QS:Al-Baqarah | Ayat: 155
Salah satu tokoh Stoicisme, Marcus Aurelius sebagai seorang kaisar Roma yang menjadi kaisar terbesar di dunia waktu itu mengenai pribadi stoic adalah selalu mempersiapkan diri dari hal-hal buruk yang bisa terjadi (Do The Best, Prepare For The Worst). Menyiapkan diri bisa dengan banyak hal, salah satunya adalah dari mindset. Ketika membayangi mengenai hal-hal buruk maka kita akan cenderung melakukan hal yang bisa membuat kita terhindar dari hal buruk tersebut.
Selain itu, sisi positif dari stoikisme adalah jika kita bisa meraih apa yang kita cita-citakan maka akan ada apresiasi yang besar karena hasil yang dihasilkan lebih tinggi daripada ekspektasi yang dibayangkan sebelumnya. Namun sebaliknya, jika yang terjadi adalah hal buruk maka kekecewaan yang terjadi tidak terlalu besar karena mindset sudah terbangun lebih awal bahwa hal buruk itu akan terjadi.
Kedua, selalu ingat bahwa ada hal yang di bawah kontrol kita dan ada juga yang tidak. Untuk memperkuat pemikiran dari Marcus Aurelius, Epictitus juga turut memberikan kontribusi mengenai stoikisme, menurutnya “Tugas utama di hidup adalah membuat tahu dan memisahkan hal yang bersifat eksternal. Dari sini, kita bisa tau dan paham dengan hal yang bisa dikontrol dan hal yang tidak bisa dikontrol”.
Terkadang hal yang bisa menimbulkan gelisah dan resah adalah kita berusaha untuk mengontrol segala sesuatu yang berada di luar kontrol kita. Sebab hakikatya terdapat hal yang sejatinya tidak bisa kita kontrol karena terdapat kehendak yang lebih berhak dari diri kita sendiri.Ketika kita mengetahui apa yang bisa dan tidak bisa dikontrol, maka kita akan fokus kepada hal yang bisa kita kontrol dan melepas hal yang tidak bisa dikontrol.
Ketiga, belajar untuk menerima segala sesuatu yang terjadi (Amor Fati)
Sesuai yang dikatakan oleh Epictitus mengenai “Kalau kamu berharap dunia ini akan memberikan apapun yang kamu mau, kamu nakal ngerasa kecewa. Tapi, kalau kamu menerima apapun yang dunia berikan kepada kamu, hidup kamu akan lebih tenang”.
Dalam hal ini, Islam juga mengajarkan kita meyakini apa saja yang akan menjadi ketetapan-Nya melalui firman-Nya:
Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku. (Q.S. Al-Ahzab: 38)
Dari ini kita mengetahui bahwa filsafat stoic dengan ajaran Islam sangat berkaitan, salah satunya adalah prinsip tawakkal setelah mengerahkan usaha dan doa. Salah satu bunyi doa ketenangan yang masyhur pada paham stoikisme yakni “Tuhan, berilah aku ketenangan untuk menerima hal-hal yang tidak bisa kuubah, keberanian untuk mengubah hal yang bisa kuubah, dan kebijaksanaan untuk membedakan keduanya”.