saya tertarik dengan ide di balik layar. Saya terkesan dengan seorang deep playmaker yang mungkin dalam catatan statistik assist maupun gol cenderung rendah tapi tetap diakui sebagai jantung permainan. Saya terkesan dengan permainan seorang deep playmaker yang low profile dan tanpa tanda jasa tersebut. Namun, kemudian terbesit apabila deep playmaker tersebut ada dalam dunia usaha atau kriminal dan melakukan passing-passing dalam bentuk gentleman agreement, bagaimana kemudian pembuktian sisi formalnya?
Saat muncul opini adanya permainan mafia maupun kartel dalam jagat pasar dan pemasaran, maka opini-opini tersebut akan tetap menjadi opini manakala tidak ada bukti langsung yang kuat. Pernyataan saya ini tercetus setelah menilik dari suatu ingatan akan bacaan yang berbunyi,”Kebohongan akan menjadi fakta apabila didengungkan beribu kali” namun tidak ada bacaan yang berbunyi,”Opini akan menjadi fakta apabila didengungkan beribu kali.” Permasalahannya adalah, untuk suatu fakta empiris atas ketidakpuasan beberapa pihak atas pihak lain dalam bentuk “tuduhan kejahatan”, dibutuhkan bukti yang cukup kuat yang sifatnya—kadang—“form over substance”.
Kembali ke gentleman agreement, saat suatu “kesepakatan” dibuat berdasarkan perjanjian verbal, maka bukti yang cukup kuat “hanya” mencakup dua kemungkinan: rekaman atau sadapan, baik dalam bentuk audio maupun audio dan video. Permasalahan yang timbul kemudian adalah, apabila memang “kesepakatan” ini berdampak besar dan memang diniatkan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau menggeser kerugian pada pihak kedua atau ketiga, maka orang mana yang akan dengan sengaja meninggalkan jejak? Bahkan seorang pencuri ayam yang mencuri semata-mata karena tidak keadaan yang amat sangat terpaksa pun akan berusaha untuk tidak meninggalkan jejak.
Bukan perkara mudah untuk mendapatkan penyebab yang sesungguhnya atas suatu fakta atau kondisi yang terjadi dalam pasar yang terbentuk akibat adanya gentleman agreement. Teori ekonomi secara implisit menjelaskan bahwa intervensi dalam pasar terjadi karena adanya kepentingan. Misalnya, pemerintah melakukan intervensi dalam bentuk subsidi karena harga di pasaran terlalu tinggi. Namun, di sisi yang sama juga, intervensi ini menjelaskan juga adanya keuntungan yang didapat pengusaha dengan adanya intervensi. Pertanyaan yang timbul minimal ada dua. Pertama, ide dasar intervensi ini atas dasar apa dan berasal dari usul siapa? Pemerintah? Pengusaha? Atau masyarakat sebagai konsumen? Kemudian, atas intervensi ini, siapa yang lebih diuntungkan? Pemerintah? Pengusaha? Atau konsumen? Pertanyaan ini layak ditanyakan since we can’t please everyone.
Dari sisi teori ekonomi, biasanya, pengusul adalah pihak yang diuntungkan. Namun, dari sisi yang sama, juga diajarkan bahwa pengusul tidak selamanya akan diuntungkan karena—minimal—ada dua pihak lain yang juga berkepentingan (hubungan antara produsen-konsumen-pemerintah). Seharusnya, pihak yang akan mendapatkan keuntungan terbesar adalah pihak yang mempunyai daya lobi dan kekuatan pasar terbesar. Secara teori, pemerintah lah yang seharusnya mendapatkan keuntungan terbesar ini sehingga dapat didistribusikan kembali ke masyarakat. Secara substansi? Saya menolak untuk berkomentar J
Menarik bagi saya adalah adanya komentar yang beredar bahwa “pemerintah akhirnya menjadi cecunguk saja atas kesepakatan para mafia”. Dalam bahasa lain, saya ingin menyebutkan bahwa jangan sampai Pemerintah hanya berfungsi sebagai notulis saja atas kesepakatan beberapa pihak tersebut. Kenapa demikian? Karena legalitas tindakan masyarakat, baik konsumen dan produsen, bersumber dari setiap aturan dan keputusan yang dikeluarkan secara resmi dan legal oleh Pemerintah. Apabila kemudian ternyata memang benar bahwa pemerintah berfungsi sebagai notulis, maka pertanyaan yang timbul akan berganti menjadi,”Seberapa besar masyarakat menanggung kerugian? Dan bagaimana masyarakat akan menutup kerugian yang mereka pikul?”
Artinya adalah, saat pencarian bukti dilakukan dan “mentok” karena “aturannya memang begitu” dan “sudah sesuai aturan” maka tidak akan ada “fakta” atau “kondisi”, yang ada hanyalah “opini” dan/atau “tuduhan”. Hal ini justru menjadi boomerang bagi pencari bukti, karena berpotensi melakukan tindakan pencemaran nama baik. Akibatnya ya, dengan peluang berhasil kecil dan resiko besar, ya lebih baik main aman aja kan ya?!
Formalitas pada dasarnya adalah bentuk ketidakpercayaan. Formalitas dibuat sebagai bukti dan jaminan. Bukti agar orang lain percaya dan jaminan kalau orang yang mempunyai bukti tidak berbohong. Padahal, substansi otak atau hati seseorang tidak ada yang tahu. Ibarat orang memakai perban, orang beranggapan bahwa dia terluka karena orang yang memakai perban “biasanya” adalah orang yang terluka. Apakah sebenarnya dia terluka atau tidak, hanya orang itu dan Tuhan yang tahu.
Dengan demikian, benar bila kepercayaan itu mahal harganya. Namun, walaupun si pembawa timbangan ditutup matanya, apakah si penimbang mau percaya?